Pilar Pengembangan Pendidikan Vokasi dan Kejuruan

1. Skill towards 2020 ( Keterampilan Menjelang 2020 )
  • Menerapkan pendekatan demand-driven ( sesuai kebutuhan DU/DI )
  • Atas dasar butir 1, pengembangan pendidikan vokasi dan kejuruan dimulai dari dan diakhiri di dunia kerja.
  • Pendekatan demand-driven memerlukan pengembangan sistem informasi pasar kerja yang handal.
  • Link & match  antara institusi pendidikan vokasi / kejuruan dengan DU/DI merupakan keharusan.
2. Perubahan mind set, heart set, and action set
  • Pergeseran dari supply-driven menuju demand-driven merupakan pola pikir ( mind set ).
  • Sifat menunggu ada cetak biru dari Depdiknas menuju motivasi diri untuk malakukan inisiasi, prakarsa dan kreaifitas memerlukan perubahan kesadaran hati ( heart set ).
  • Untuk mewujudkan perubahan-perubahan ke arah demand-driven memerlukan perubahan prilaku dalam pengembangan pendidikan vokasi dan kejuruan ( action set ).
3. Cara Berfikir : bergerak dari reaktif menuju aktif dan bahan proaktif
  • Pengembangan pendidikan vokasi dan kejuruan saat ini cenderung reaktif sehingga selalu ketinggalan satu langkah dengan DU/DI
  • Akan lebih baik jika pengembangan penddikan vokasi dan kejuruan ditempuh secara kolaboratif dengan DU/DI ( aktif ).
  • Akan terbaik jika pengembangan pendidikan vokasi dan kejuruan dilakukan secara proaktif ( satu langkah lebih maju dari DU/DI ).
4. Pendidikan vokasi dan kejuruan yang pro-perubahan
  • Ada kecendrungan bahwa pengembangan pendidikan vokasi dan kejuruan pro-kemapanan dimana bidang keahlian ( spektrum ) yang dikembangkan ya itu itu saja sehingga terjadi oversupply pada bidang keahlian tertentu dan undersupply pada bidang-bidang vokasi/kejuruan yang lain.
  • Pengembangan diversifikasi bidang keahlian vokasi dan kejuruan yang sejalan dengan perkembangan DU/DI merupakan keharusan ( pro-perubahan )
5. Pendidikan vokasi dan kejuruan yang mengakar pada kekayaan nusantara
    Ada kecendrungan bahwa pengembangan pendidikan vokasi dan kejuruan di Indonesia kurang mengakar  pada kekayaan alam dan budaya Indonesia, misalnya pertanian, peternakan, perikanan, kelautan, dan pertambangan. Sehingga importasi kedelai, jeruk, apel, garam, daging, dsb. Seharusnya tidak perlu terjadi jika pengembangan pendidikan vokasi dan kejuruan mengakar pada kekayaan alam dan budaya Indonesia.

6. Penguatan jiwa intra-, entre-, dan enter-preneurship (IGA)
  • Institusi vokasi dan kejuruan harus mengembangkan jiwa kewirausahaan peserta didiknya melalui kegiatan usaha komersial di dalam sekolah ( intra-preneurship ) maupun usaha komersial terpisah di luar sekolah yang dikelola secara profesional ( inter-preneurship ) dan sekolah hanya sabagai pemilik atau pemegang saham. Bisa juga sekolah melakukan usaha komersial terpisah di luar sekolah yang dikelola oleh warga sekolah ( enter-preneurship ).
  • Jiwa kewirausahaan yang diharapkan dimiliki oleh peserta didik pendidikan vokasi dan kejuruan antara lain : bersikap dan berfikir mandiri, memiliki sikap berani menanggung resiko, tidak suka mencari kambing hitam, selalu berusaha menciptakan dan meningkatkan nilai sumber daya, terbuka terhadap umpan balik, selalu ingin mencari perubahan yang lebih baik ( meningkatkan dan mengembangkan ), tidak pernah merasa puas, terus-menerus melakukan inovasi dan improvisasi demi peraikan selanjutnya, dan memiliki tanggung jawab moral yang tinggi.
7. Penguatan link & match  antara pendidikan vokasi/kejuruan dan DU/DI ( institusi pasangan )
  • Salah satu kunci sukses pendidikan vokasi dan kejuruan adalah terjadinya hubungan yang erat dengan DU/DI karena dengan link & match yang erat akan mendekatkan lulusannya dengan keutuhan DU/DI
  • Rintisan link & match dengan DU/DI yang pernah dilakukan melalui MPKN/MPKP/MS perlu diintensifkan lagi melalui Dewan Pendidikan / Komite Sekolah.
8. Memperkuat experiential learning
    Agar pendidikan vokasi / kejuruan mampu mendekatkan diri dengan DU/DI, maka sudah seharusnya menerapkan experiential learning ( Pendidikan Sistem Ganda, work based learning/WBL, cooperative learning / CTL, teaching factory / TF, unit produksi / UP, magang / apprenticeship, internship, praktik industri / PI, dan yang sejenisnya.

9. Mendukung kepres 6 / 2009 tentang pengembangan ekonomi kreatif
  • Pendidian vokasi / kejuruan harus mendukung keppres no 6 tahun 2009 tentang pengembangan ekonomi kreatif karena keppres ini sangat cocok untuk konteks skonimi Indonesia ( usaha kecil dan menengah )
  • Untuk mendukung keppres tersebut, institusi pendidikan vokasi / kejuruan dapat mengembangkan program-program yang sesuai dengan keunggulan lokalnya.
10. Menanggapi era global ( SBI & WCU )
  • Era globalisasi menuntut persaingan yang ketat dan Indonesia harus memiliki faktor - faktor daya saing yang kuat dalam SDM, menajemen dan teknologi.
  • Pengembangan SDM kelas dunia melalui SBI dan WCU yang telah dirintis selama ini perlu diperkuat melalui arahan, bimbingan, aturan, dan dukungan yang kuat dan jelas, ( SDM, dana, peralatan, perlengkapan, bahan, dsb ).
11. Memfasilitasi otonomi pendidikan vokasi / kejuruan ( UU 9 / 2009 tentang BHP )
  • Sejak otonomi daerah diterapkan, pengelolaan pendidikan kejuruan di daerah agak pudar karena SDM yang mengelolanya kebanyakan bukan the right person in right place.
  • Selain itu, derajad ketataan daerah terhadap pusat juga mengalami distorsi sehingga kebijakan-kebijakan pusat sering tidak terlaksana dengan baik di daerah.
  • Intervensi dari pusat berupa fasilitasi, bimbingan, dan pengembangan kapasitas pengelola pendidikan kejuruan di daerah ( khususnya dinas pendidikan kabupaten / kota ) harus dilakukan melalui cara - cara yang sesuai dengan kebutuhan daerah.
  • Mengingat depdiknas hanya memiliki kekuatan teknis dan kewenangan SDM pendidikan kejuruan berada di pemerintah daerah, maka kolaborasi dengan Depdagri perlu diupayakan melalui, misalnya Suran Keputusan Bersama ( SKB ), selain melaksanakan secara tertib tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemeritah Provinsi dan Pemerintah kabupaten / kota ( PP 38/2007 )
12. Kajian ilmiah tentang proporsi jumlah siswa SMA:SMK
  • Kebijakan besar tentang proporsi jumlah siswa SMK:SMA dari 70 % : 30% pada tahun 2005 menjadi 30% : 70% pada tahun 2014 harus didasarkan atas asumsi ( naskah akademik ) yang kuat. Jika tidak, selain tidak ada jaminan benar, juga mengundang diskusi yang tidak menentu.
  • Studi makro, meso, dan mikro tentang proporsi jumlah siswa SMA : SMK agar dilakukan dengan segera.
13. Pendekatan red ocean strategy dan blue ocean strategy
  • Program pendidikan vokasi / kejuruan saat ini cenderung dikembangkan seperti yang sudah dikembangkan oleh daerah lain / negara lain sehingga harus bersaing dengan mutu ( red ocean strategy ).
  • Padahal, pendidikan vokasi / kejuruan di indonesia dapat dikembangkan berdasarkan keunggulan lokal ( local genius ) yang tidak dimiliki oleh daerah lain sehingga tidak perlu bersaing ( blue ocean strategy ).
14. Integrasi soft skills dan hard skills
  • Lulusan pendidikan kejuruan harus menguasai soft dan hard skills karena kedua-dua nya perlu di tempat kerja.
  • Berikut adalah sejumlah cara untuk mengintegrasikan soft skills dan hard skills ke dalam kurikulum pendidikan vokasi / kejuruan.
  • Soft skills diintegrasikan ke semua mapel, topik dan sub topik mapel.
  • Soft skills diintegrasikan ke setiap mapel, topik dan sub topik mapel melalui simulasi
  • Soft skills diintegrasikan ke setiap mapel, topik dan sub topik mapel melalui kursus pendek.
  • Soft skills diintegrasikan ke setiap mapel, topik dan sub topik mapel melalui pengalaman kerja di dunia kerja.
  • Soft skills diintegrasikan ke setiap mapel, topik dan sub topik mapel melalui pemberian contoh.
  • Soft skills diintegrasikan ke setiap mapel, topik dan sub topik mapel.
  • Soft skills diintegrasikan ke setiap mapel, topik dan sub topik mapel melalui kunjungan ke dunia kerja, mengundang nara sumber, dan jasa komputer. 


SHARE THIS

Author:

Previous Post
Next Post